Saat hampir di semua belahan dunia sedang menikmati hangatnya sinar matahari, saya berkesempatan mengunjungi South Island New Zealand yang sedang dilanda musim dingin yang mencapai puncaknya di bulan Juli 2011 lalu.
Saatnya Persiapan!
Sebelum berangkat, penelitian kecil-kecilan saya lakukan untuk mempermatang persiapan perjalanan ke New Zealand, 18-23 Juli 2011. Mulai dari nilai tukar rupiah, cuaca di sana, sampai tempat-tempat yang tertulis dalam itinerary yang sudah dikirimkan AirAsia sejak 2 minggu sebelum tanggal keberangkatan.
Dalam hal mata uang, 1 NZD (New Zealand Dollar) = Rp 7.500 saat itu. Buat Anda yang setelah membaca cerita saya tentang “negeri dongeng” ini dan tertarik untuk berlibur ke New Zealand, ada baiknya untuk menukarkan rupiah ke NZD di Indonesia. Karena bila menukar setelah sampai di sana, saya agak ragu dengan nilai tukar Rupiah di sana.
Atau, tukarkan ke Dolar Australia terlebih dahulu kalau memang Anda tidak menemukan money changer yang memiliki NZD. Karena, berdasarkan pengalaman pribadi, jarang sekali money changer yang memiliki NZD di Indonesia. Saya saja baru berhasil menukarkannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Untuk cuaca, kebetulan di New Zealand, bulan Juli adalah puncak dari musim dingin yang sudah mulai sejak sebulan sebelumnya. Saya diingatkan untuk membawa pakaian yang banyak serta kelengkapan musim dingin yang diperlukan seperti jaket, sarung tangan, topi, dan kaus kaki. Now, i’m ready to explore Southern Alps, New Zeland!
Welcome to Southern Alps, New Zealand!
AirAsia X, yang berbasis di Malaysia, telah membuka rute penerbangan menuju ke Christchurch, New Zealand. Dengan maskapai penerbangan itulah saya berangkat menuju ke New Zealand, dengan transit di Kuala Lumpur terlebih dahulu. Waktu penerbangan yang ditempuh mencapai kurang-lebih 12 jam, dari Jakarta menuju Christchurch (tidak termasuk saat transit di Bandara LCC Kuala Lumpur, Malaysia).
Terdapat perbedaan waktu sekitar 5 jam lebih maju di Christchurch. Bersama dengan rombongan jurnalis dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan India, kami tiba di Bandara International Christchurch, New Zealand. Cuaca dingin dan berangin langsung menyambut kami ketika keluar menuju bis dari Kea Tours. Kami pun langsung menuju Terrace Down High Country Resort yang berada di kaki gunung Mt. Hutt.
Mt. Hutt dan Rakaia River
Mungkin karena baru hari pertama menginjakkan kaki di New Zealand dan langsung disambut cuaca dingin yang mencapai 5 derajat Celcius, saya langsung merasa rindu pada udara panas Jakarta. Dinginnya terasa sangat menggigit. Apalagi kami diajak untuk berkeliling Terrace Down dengan menggunakan mobil golf yang terbuka. Brrrr...!
Namun, pemandangan indah Mt. Hutt dari Terrace Down High Country Resort membuat saya melupakan rasa dingin tersebut. Pegunungan bersalju dengan seburat warna merah muda sebagai latar belakangnya, sungguh seperti lukisan yang mewujud nyata di depan mata. Belum lagi Rakaia River, sungai di kaki Mt. Hutt dengan air biru jernih yang berasal dari salju yang mencair, memantulkan semburat warna pelangi yang luar biasa indah.
Pemandangan menakjubkan itu pulalah yang terlihat jelas dari jendela kamar saya di Terrace Down. Dengan konsep vila keluarga berkamar dua (saya sekamar dengan jurnalis dari Thailand) dengan konsep bangunan dan interior modern minimalis serta berkonsep pedesaan, Terrace Down menjadi pilihan tepat bagi para keluarga yang ingin berlibur di Mt. Hutt. Makan malam di Avoca Restaurant, Terrace Down High Country Resort semakin menyempurnakan hari pertama saya di sana.
Keesokan harinya, yang merupakan hari kedua saya di Southern Alps, saya bersiap untuk melakukan petualangan ala SouthAlps di Rakaia River. Kami pun dibawa menuju tepi Rakaia River untuk melakukan Jet Boating. Ya, jet boating! Menyusuri Rakaia River dengan perahu mesin berkecepatan tinggi, melewati tebing dan dasar sungai yang penuh bebatuan.
Saya sempat ragu untuk ikut kegiatan ini. Namun, begitu rombongan pertama selesai, mereka turun sambil menggigil dan berteriak “Seru! Kamu harus coba!” membuat saya memutuskan untuk ikut, dan saya tidak menyesal. Menikmati adrenalin yang mengalir cepat karena ngebut di sungai yang dangkal, menikmati dinginnya angin yang menerpa wajah, serta menikmati cipratan-cipratan air yang membekukan! It’s fun!
Mt. John dan Lake Tekapo
Badan saya sudah mulai menyesuaikan cuaca dingin South Island, New Zealand, di hari kedua. Dengan pakaian berlapis-lapis, saya siap melanjutkan aktivitas menjelajahi Southern Alps yang memesona. Sepanjang perjalanan menuju Lake Tekapo, salah satu danau terindah di South Island, pemandangan pegunungan bersalju Alpine, hamparan padang rumput lengkap dengan gerombolan domba-domba yang sedang merumput, menjadi teman seperjalanan saya.
Danau yang berada di dataran tinggi Mackenzie District disebut sebagai Lake Tekapo, memiliki warna turquois yang menakjubkan. Ini dikarenakan air yang berada di danau tersebut berasal dari glacier, serta dikelilingi oleh pegunungan bersalju yang memantulkan cahaya matahari ke air danau Lake Tekapo. Saya yang tidak memiliki keahlian fotografi dapat menciptakan hasil foto yang tidak kalah dengan fotografer profesional karena obyek foto yang begitu indahnya.
Satu lagi obyek yang semakin menambah keindahan Lake Tekapo dan menjadi satu kesatuan dengannya adalah Church of the Good Sheperd. Sebuah bangunan gereja sederhana yang terbuat dari batu, yang terletak tepat di tepi Lake Tekapo, dibangun pada tahun 1935. Dari jendela altarnya, kita dapat melihat pemandangan indah SouthAlps yang terbingkai sempurna. Gereja ini sering kali digunakan untuk upacara pernikahan karena keindahannya.
Kali ini saya bermalam di resor terbaik di Mackenzie District, Peppers Blue Waters Resort. Hampir sama seperti di Terrace Down, luxury villa bergaya modern dan menawarkan view Mt. John di kejauhan. Konsep resor modern dengan tipe duplex one bed room, menjadi “rumah” saya untuk satu malam.
Lucunya, saya bertemu dengan Putu Anggriasa, Housekeeping Manager Peppers Blue Waters Resort, yang berasal dari Bali dan telah bekerja di sana selama 4 tahun. Pak Putu sangat senang bertemu dengan kami, jurnalis dari Indonesia, karena begitu jarangnya orang Indonesia yang berkunjung ke sana. Dengan keramahannya, menginap di Peppers Blue Waters semakin terasa menyenangkan.
Tepat pukul 00.00, di saat udara dingin sudah menembus minus derajat Celcius, saya dan rombongan bergerak menuju Mt. John Obstervatory for an Earth and Sky untuk melakukan Stargazing Tour. Tanpa diterangi cahaya sedikitpun, saya menuju puncak Mt. John untuk melihat bintang di langit malam.
Sayangnya, cuaca saat itu sedang mendung sehingga hanya sedikit bintang yang bersinar. Ditambah, kami harus fokus berjalan di tengah kegelapan malam dan tanah licin bersalju, belum lagi rasa kantuk yang mulai menyerang, petualangan melihat bintang di puncak gunung Mt. John malam itu terasa begitu menantang.
Aoraki Mt. Cook, Salju, dan Flats
Sebelum berangkat menuju gunung berikutnya, kami diajak menikmati beragam permainan seru di Alpine Spring & Spa, yang dekat dari Peppers Blue Waters Resort. Mulai dari ski, ice skating, ice chubbing, sampai berendam di kolam air panas. Sayangnya, saat itu saya sedang kurang sehat, sehingga hanya berperan sebagai fotografer, memotret teman-teman lain sambil ditemani secangkir cokelat panas.
Dari Alpine Spring & Spa, kami bergerak menuju Mt. Cook, gunung tertinggi di Pegunungan Alpine. Yang tadinya sepanjang perjalanan adalah hamparan rumput hijau, mendekati tujuan, sisi jalan berubah menjadi hamparan salju yang putih menyilaukan. Saya sangat bersemangat kali ini, karena jujur saja, ini adalah pengalaman pertama saya berada di tengah-tengah hamparan salju yang luas.
Kami langsung menuju ke The Hermitage Hotel, Aoraki Mt. Cook. Sebelumnya, mampir dulu di The Old Mountaineers’ Cafe, Restaurant, and Bar yang terletak di area hotel untuk menikmati hidangan makan siang ala bule, seperti steak, fish and cips, juga burger. Setelah makan, saya pun menyempatkan diri untuk bermain salju bersama teman-teman yang lain, karena restoran tersebut dan The Hermitage Hotel benar-benar berada di tengah salju. Saatnya untuk norak dan bersenang-senang!
Hotel ini merupakan tempat yang tepat bagi mereka yang ingin merasakan pengalaman total berlibur di Mt. Cook. Mulai dari kamar hotel premium, unit motel, sampai tempat menginap bagi para backpakers, ada di The Hermitage Hotel. Dilengkapi juga dengan toko penjualan suvenir, Anda bisa berbelanja oleh-oleh khas South Island dan Mt. Cook di sini.
Jangan lupa untuk mengunjungi Sir Edmund Hillary Alpine Center, museum yang diperuntukan bagi Sir Edmund Hillary, yang telah berhasil menaklukan Mt. Cook dengan mendakinya di saat muda. Itulah yang kami lakukan, menonton film 3 dimensi yang menceritakan tentang asal muasal terbentuknya Mt. Cook dari legenda masyarakat asli, sampai berbelanja suvenir di The Hermitage Hotel dan juga menikmati makan malam yang nikmat di sana.
Keesokan harinya yang merupakan hari terakhir kami di New Zealand, adalah hari untuk pengalaman paling seru yang akan dilakukan. Dari hotel, saya dan rombongan menuju Mt. Cook Airport, sebuah bandara kecil untuk pesawat ski. Ya, kami akan terbang menggunakan pesawat ski dan helicopter, menjelajahi Mt. Cook dari udara dan mendarat di atas glacier.
Saya kebagian terbang menggunakan ski planes. Ini merupakan pengalaman yang tak akan saya lupakan. Sepatu kets yang biasa saya gunakan rusak, sehingga saya terpaksa menggunakan sepatu flat tipis dengan hanya 1 lapis kaus kaki. Begitu mendarat di glacier di atas Mt. Cook, saya mencoba untuk turun dan melangkah di hamparan salju, kakipun terpendam sampai batas mata kaki.
Rasanya sungguh luar biasa, beku dan kesemutan. Jadi, saya satu-satunya orang yang duduk diam di pesawat ketika yang lain asyik bermain salju di tengah suhu -10 derajat Celcius. Nasib, oh nasib! Teman-teman jurnalis, pilot, serta rekan dari Tourism New Zealand menyebut saya dengan “the hero that only wearing flats in the middle of snow”...hahaha!
Christchurch dan Kiwi
Saatnya kami kembali ke Christchurch. Oh iya, sekadar informasi, petugas airport Mt. Cook berhasil memperbaiki sepatu kets saya hanya dengan permen karet! Sehingga saya dapat kembali beraktivitas tanpa takut kaki menjadi beku. Dari Mt. Cook, kami menuju Chirstchurch untuk mengejar penerbangan terakhir menuju Kuala Lumpur di hari yang sama.
Sebagai negeri burung Kiwi, rasanya belum ke New Zealand bila tidak bertemu dengan ikon negara tersebut. Walaupun hanya sebentar, saya diajak ke Willowbank Wildlife Reserve and Ko Tane, tempat penangkaran dan budi daya burung Kiwi. Setelah itu, Mathew, pemandu sekaligus supir kami dari Kea Tours mengajak kami berkeliling Christchurch.
Sungguh miris dan menyedihkan melihat kota yang dipenuhi bangunan antik bersejarah rusak karena gempa berkekuatan besar dan banyak memakan korban jiwa. Salah satunya adalah gereja katedral yang berusia ratusan tahun yang terpaksa harus dirobohkan karena sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Mereka juga mengakui, gempa tersebut bepengaruh negatif pada dunia pariwisata. Orang-orang takut untuk datang ke Christchurch.
Saatnya kembali ke rumah masing-masing. Pengalaman menjelajahi “negeri dongeng” South Island, New Zealand, bagaikan mimpi bagi saya. Keindahannya tidak tertandingi. Mungkin itulah sebabnya South Island dijadikan lokasi syuting film trilogi “Lord of The Rings” karena memang benar-benar mencerminkan keindahan alam middle earth yang sempurna.
dari jakarta ke cristchruch, transit di kuala lumpurnya berapa lama?
BalasHapusHolaaa...thank you udah mampir yaa. Waktu itu sih pake Fly Through AirAsia, di Malaysianya sekitar 3-4 jam. Tapi karena Fly Through itu tadi, kita ga usah ngantri2 dan cek imigrasi lagi, ada pintu khusus. Boleh nunggu sambil jajan atau tidur-tiduran...suka-sukaaa :D
BalasHapusFollow my blog yaa, maaf baru dikit isinya, masih ribet di Palembang nih. Thank you sekali lagi...:)