Seperti kata pepatah "Orang Sabar Pantatnya Lebar". Buat Anda yang memiliki tingkat kesabaran minimal, berobat menggunakan BJPS Kesehatan bagaikan ujian tingkat dewa yang harus dilalui. Tapi dijamin level kesabaran Anda akan bertambah tiga tingkat setelahnya. Selamat mencoba.
Hampir saja saya lupa kalau saya memiliki blog yang isinya suka-suka saya mau nulis apa. Tetapi, pengalaman berobat menggunakan BPJS Kesehatan membuat saya teringat kembali blog yang telah terabaikan ini. Bahkan, keinginan untuk menulis timbul ketika masih dalam sesi berobat yang bagai tanpa akhir. Hanya kondisi badan yang tidak fit yang mampu mencegah saya untuk membuka laptop, duduk di lantai ruang tunggu rumah sakit, dan langsung menuliskan cerita ini.
Semua berawal dari liburan saya ke Bandung akhir September 2016 lalu. Karena tidak mendapat izin cuti, saya harus masuk kerja dulu setengah hari, lalu kemudian pulang menjemput suami dan anak. Istirahat 1-2 jam di rumah, langsung berangkat ke Kota Kembang mengunjungi nenek dan kakek di sana. Seperti biasa, sebagai pembalap, saya lah yang menyetir mobil ke Bandung, suami duduk anteng berperan sebagai navigator.
Tiga hari di sana tidak terasa maksimal karena ketika tiba di rumah nenek pada Jumat malam, perut kanan bawas terasa nyeri. Nyeri itu tidak kunjung hilang, melainkan semakin terasa. Tidur menghadap kanan tidak bisa, jalan seperti oma-oma, kaki ditekuk pun sakit sekali. Usus buntu sempat terpikir oleh saya.
Petualangan BPJS - Day 1
(foto dok. internet)
Singkat cerita, hari Senin saya pun sudah kembali bekerja. Saya menyempatkan diri untuk memeriksakan kondisi tersebut ke klinik kantor. Dokter klinik langsung memberi saya surat pengantar ke IGD karena kecurigaan yang sama dengan saya, usus buntu. Berbekal surat itu, saya mengunjungi RS andalan saya, Eka Hospital. Dalam perjalanan saya masih galau apakah akan menggunakan BPJS atau berobat seperti biasa. Namun ketika teringat potongan BPJS yang lumayan setiap akhir bulan, saya pun ogah rugi dan berniat menggunakan BPJS. Sekalian test & trial. Sayangnya, Eka Hospital BSD tidak menerima pasien BPJS. Saya pun memutuskan untuk pulang ke rumah dulu untuk kemudian mengunjungi RS dekat rumah.
(foto dok. internet)
Kunjungan kedua, saya mendatangi RSUD di dekat rumah. Pikir saya, karena memiliki pegangan surat pengantar IGD dari dokter Klinik, saya bisa langsung ke RS tanpa harus ke klinik tingkat satu di urutan BPJS. Saya langsung mendatangi IGD, menunjukkan surat pengantar dan menunggu reaksi dari petugas IGD. "Tempat tidur kita penuh Bu, tunggu di kursi roda ya."
Setelah sempat terpana sepersekian detik, saya pun tertawa. Saya katakan, kondisi saya masih bisa berdiri, masih bisa menyetir, bahkan masih bisa tertawa. Saya tidak butuh kursi roda, saya butuh diagnosa atas penyakit saya. Kembali petugas mengatakan, untuk diagnosa butuh waktu, karena IGD penuh. Kalau mau ke daftar di poli saja dan antri ketemu dokter. Well, dari sini saja saya sudah mengernyitkan dahi. Kalau memang benar saya menderita usus buntu, betapa daruratnya kondisi saya harus ditangani. Lalu saya pun keluar dari RS tersebut dan berniat mendatangi faskes tingkat 1 yang terdaftar di BPJS Kesehatan saya.
(foto dok, internet)
Dokter di Klinik Faskes 1 sama sekali tidak memeriksa saya, saya langsung diberikan rujukan ke RSU untuk bertemu spesialis bedah, yang jadwal prakteknya baru esok hari. Jadilah di hari pertama petualangan BPJS, saya sudah mengunjungi 2 RS dan 2 klinik dan belum mendapat diagnosa penyakit. SAYA SAKIT APA SIH?
Petualangan BPJS - Day 2
(foto dok. internet)
Hari kedua, sudah mendapatkan izin sakit dari kantor, saya pun siap berpetualang tour de hospital. Saya menuju ke RSU rujukan dari faskes 1, saya bertemu dengan dokter spesialis bedah. Alhamdulillah dokternya baik dan sangat ramah, Saya di cek tapi tetap belum ketahuan penyakitnya. Saya kembali dirujuk ke RS besar untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu USG yang dijadwalkan lagi-lagi keesokan hari.
Kemungkinan usus buntu bertambah dengan hernia dan juga cedera otot. Antibiotik dan penghilang rasa nyeri pun diresepkan oleh dr. Ramah (bukan nama sebenarnya tentunya). Ditambah surat istirahat agar saya bed rest di rumah. Pertanyaan yang sama masih tersimpan di benak saya, SAYA SAKIT APA SIH?
Petualangan BPJS - Day 3
(foto dok, internet)
Janji dengan dr. Ramah di RS besar pk. 10.00, saya sudah sampai di sana pk. 09.00. Begitu sampai, saya diminta untuk mengambil antrian pasien BPJS, dan nomor yang keluar adalah 119. Siap-siap duduk manis menunggu, saya pun terhenyak ketika nomor yang dipanggil baru mencapai 38. Saya merasa iba kepada mereka yang membutuhkan penanganan segera namun harus mengantri terlebih dahulu untuk dapat bertemu dokter. Sedih.
Pk. 12.00 baru saya dapat bertemu dengan dr. Ramah, tapiiiii....karena antrian BPJS, saya dijadwalkan untuk USG 5 hari kemudian. Yes, 5 hari! Saya pun tersenyum lebar, malah tertawa kecil. Ini kalau benar sakit usus buntu, mungkin saya sudah "lewat" saat masa tunggu USG tersebut. Merasa pasrah dan mungkin karena efek obat yang diberikan, nyeri perut bawah kanan saya pun tidak terlalu mengganggu. Positive thinking ini bukan usus buntu, saya memutuskan untuk bekerja keesokan harinya, walaupun surat sakit saya diteruskan sama saat USG nanti.
Sialnya, saya alergi dengan antibiotik yang diberikan. Timbul luka-luka seperti melepuh di pinggang dan telapak kaki yang rasanya perih bukan main. Ditambah, sekujur tubuh saya terasa sakit bila disentuh seperti ada lecet, namun tidak ada. Malas untuk minta tukar obat, saya nekad tetap minum obat yang diberikan sampai habis.
Petualangan BPJS - Day 4
Hari USG pun tiba. Selama 5 hari menunggu, nyerinya semakin memudar, walau tidak sepenuhnya hilang. Benar saja, hasil USG menyatakan jeroan saya sehat. Alhamdulillah. Setelah USG harus bertemu kembali dengan dokter spesialis bedah, dr. Ramah. Maka saya pun kembali mengambil nomer antrian pasien BPJS. Saya mendapat nomor antrian 100, ketika yang dipanggil baru nomer 25. Sabaaaaar.
Dr. Ramah melihat hasil USG yang diberikan oleh bagian radiologi dan memutuskan bahwa bukan usus buntu ataupun hernia yang saya alami. Kemungkinan besar adalah cedera otot. Katanya, "Sebaiknya bertemu dengan spesial syaraf, Bu." -- yang prosesnya adalah mengulang Petualangan BPJS dari Day 1.
Terima kasih Pak Dokter, tapi saya sehat kok!
PS: ujungnya, sebenarnya pertanyaan utama cerita ini belum terjawab, yaitu: SAYA SAKIT APA SIH? Suka-suka kalian lah. Penyakitnya aja suka-suka dia mau apaan.
Setelah mengunjungi 6 klinik/RS dan menghabiskan satu minggu untuk mencoba menjadi pasien BPJS yang baik dan benar, kesimpulannya: BPJS Kesehatan, hanya untuk orang sabar.
Anastasia Ratih P. Tyas