Senin, 21 November 2011

Surga itu Bernama Ujung Genteng


Perbukitan yang hijau, hutan pinus yang teduh, danau dan sungai dengan gemericik aliran air, diakhiri dengan lautan biru membentang. Semua keindahan alam tersebut dapat ditemukan di Ujung Genteng, Jawa Barat.

            Bila ada yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar nama Ujung Genteng, cobalah tengok di atlas Jawa Barat. Temukan kota Sukabumi, lalu turun ke ujung selatan Jawa Barat, di situlah tertulis Ujung Genteng. Siap-siaplah terpesona dengan keindahan alamnya yang masih sangat alami. Jujur saja, saat ke sana bulan Maret lalu, itu adalah kali pertama saya ke Ujung Genteng. Itu juga bukan dalam rangka jalan-jalan, tapi pemotretan advertorial salah satu produk otomotif SUV merek terkenal, dan saya mendadak berubah profesi menjadi creative director, penulis, dan seksi ribet.

Pesona Alam
            Memang, kendala utama menuju Ujung Genteng terletak pada aksesnya. Perjalanan darat menjadi satu-satunya pilihan. Membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam dari Jakarta untuk sampai ke sana. Kendaraan yang tinggi dan tahan banting sangat disarankan untuk menempuh rute sulit menuju Ujung Genteng dengan kondisi jalan yang tidak mulus dan berkelok-kelok serta tanjakan dan turunan tajam. Biasanya mereka yang menyerah akan berhenti di Pelabuhan Ratu, karena Ujung Genteng masih 1-2 jam perjalanan lagi. Hemm...sebenarnya sampai saat ini, saya masih belum mau mengiyakan bila ada yang mengajak ke Ujung Genteng, karena badan saya masih saja ngilu bila ingat rute berat yang harus ditempuh menuju ke sana.

            Namun, buat yang memang penasaran, semua tantangan tersebut akan terbayarkan dengan pemandangan indah yang ditemui sepanjang perjalanan. Danau Lido adalah salah satu obyek wisata yang dilewati. Tak ada salahnya untuk mampir dan berpiknik di pinggir danau atau berperahu mengelilinginya. Pemandangan danau yang indah, dapat menjadi alternatif untuk beristirahat sejenak dalam perjalanan.

Danau Lido (dok. internet)


Ada beberapa rute yang dapat ditempuh untuk menuju Ujung Genteng. Salah satunya melewati perbukitan yang disebut Cikidang. Hamparan sawah hijau dan deretan pohon pinus, serta udara yang sejuk terasa sangat menyegarkan. Bagi yang menyukai petualangan, Cikidang banyak memiliki tempat untuk mencoba wisata ala petualang. Rafting menyusuri sungai Cikidang menjadi petualangan yang patut dicoba. Pemandangan Pelabuhan Ratu yang indah menjadi ujung dari rute perbukitan Cikidang, sungguh indah.

Perkebunan Teh (dok. internet)

Satu lagi tempat yang akan dilewati dan memiliki keindahan yang tidak kalah dengan pemandangan alam serta memiliki nilai sejarah adalah Jembatan Bagbagan. Setelah melewati Cikidang, ada persimpangan. Di sana berdiri jembatan gantung berwarna kuning yang masih berdiri kokoh sejak dibangun pada masa penjajahan Belanda dulu, menyeberangi Sungai Cimandiri. Namun, sayangnya jembatan ini sudah tidak digunakan lagi.
Sebagai salah satu obyek wisata daerah Jawa Barat, semua yang menuju ke Ujung Genteng diwajibkan membayar biaya retribusi. Setelah itu, pemandangan unik di sepanjang jalan lurus menuju Ujung Genteng akan menyambut para tamu, dengan hamparan nyiur yang melambai dan laut di kedua sisi jalan. Sampailah kita di Ujung Genteng.

Pesona Laut

Pantai Ujung Genteng (dok.internet)

Pantai Amandaratu, Ujung Genteng (dok.internet)
            Sejauh mata memandang, lautan birulah yang terlihat. Cakrawala luas yang putih bersih, layak diabadikan dengan jepretan kamera. Ujung Genteng memiliki pantai yang sangat indah dan sangat panjang. Mulai dari pantai berbatu karang, pantai berpasir kasar, sampai pantai dengan pasir putih yang sangat lembut. Masih sangat jarang wisatawan di daerah ini sehingga kita dapat leluasa menikmati pemandangan laut, bermain pasir dan ombak, tanpa harus diganggu pedagang-pedagang yang menawarkan barang dagangannya.
            Dan, menurut cerita penduduk setempat, Ujung Genteng merupakan tempat habitat hiu bintang. Binatang laut yang sangat besar dengan bentuk seperti paus. Disebut hiu bintang karena warnanya yang hitam dengan titik-titik putih berbentuk bintang di sekujur tubuhnya. Sama seperti paus, ikan raksasa ini juga menyemburkan air dari atas kepalanya. Jangan takut, hiu bintang bukanlah hiu ganas pemakan daging. Tidak hanya hiu bintang, di laut ini pun masih sering terlihat ikan paus berenang serta ratusan lumba-lumba yang sering memamerkan “tarian”  kepada nelayan setempat. Sungguh menakjubkan!
            Bila datang ke Ujung Genteng, jangan sampai tidak mampir di Penangkaran Penyu Pangumbahan. Di sinilah pasir pantainya begitu putih dan halus. Mereka yang datang dapat berkesempatan ikut melepaskan anak-anak penyu yang baru menetas ke laut lepas. Tapi awas, buat yang bertangan jahil dan berniat membawa salah satu anak penyu, diancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 150 juta, karena penyu termasuk hewan yang dilindungi negara.


Penangkaran Penyu Pangumbahan (dok.internet)

            Begitulah, bila memang Anda mencari satu destinasi wisata yang menawarkan banyak sekali keindahan alam, Ujung Genteng tempatnya. Pemerintah daerah setempat seharusnya mulai menyadari potensi yang dimiliki Ujung Genteng, sehingga akses menuju ke sana dapat segera diperbaiki. Tentunya bila itu terwujud, para pecinta alam dapat dengan mudah kembali ke surganya dunia, Ujung Genteng, Jawa Barat, untuk menikmati pemandangan matahari terbenam yang memukau.

Sunset at Ujung Genteng (dok. blackberryratih)

Me at Ujung Genteng 

Rabu, 16 November 2011

Taiwan Touch My Heart

 Ketika undangan dari Taiwan Visitors Association datang , saya sungguh excited. Karena, inilah pertama kali saya mengunjungi pulau kecil yang merupakan bagian dari Republik China tersebut. Penasaran seperti apa Taiwan itu, apakah banyak yang bisa dilihat di sana, menimbang ukurannya yang hanya memiliki panjang 94 kilometer (245 mil) dan lebar 144 kilometer (89 mil).
            Namun ternyata, Taiwan memiliki keindahan yang memukau, yang wajib dijelajahi oleh para turis yang berkunjung ke sana. Saya memang sangat beruntung karena datang ke sana atas undangan resmi dari tourism board mereka, sehingga saya berkesempatan mengunjungi obyek-obyek wisata Taiwan yang memang keindahannya menyentuh hati. Moto pariwisata Taiwan, “Touch Your Heart”, bukan omong kosong belaka.
            Saya mencoba memberikan gambaran terbaik bagi Anda yang memasukkan Taiwan ke dalam list negara yang wajib dikunjungi untuk berlibur. Dan, bagi Anda yang belum kepikiran untuk datang ke sana, semoga guide yang saya tulis berikut ini akan menyentuh hati Anda untuk segera menjadwalkan liburan ke sana.

Taiwan 101 & Shihlin Night Market
 Saat pesawat mendarat di Taoyuan Internasional Airport, Taipei, pemandangan langit yang berawan akan menyambut Anda. Cuaca seperti itulah yang saya rasakan ketika pesawat China Airlines yang saya tumpangi dari Jakarta ke Taiwan tiba di sana. Taiwan adalah negara dengan empat musim. Di luar winter, cuacanya akan selalu berawan dengan suhu 12°C-20°C. Ketika itu, akhir Februari, adalah pergantian musim dari musim semi menuju musim panas.
            Taipei, yang adalah ibukota Taiwan, menawarkan city view yang menarik. Perjalanan dari airport menuju pusat kota melewati daerah industri, tidak jauh berbeda dengan yang kita lihat di Jakarta, dari Cengkareng menuju pusat Jakarta. Namun, begitu memasuki pusat Taipei, barulah terlihat perbedaan signifikan dengan Jakarta.
Taipei begitu bersih, teratur, udaranya sejuk dan fresh, dengan sarana transportasi publiknya yang sangat apik. Hanya satu yang perlu Anda perhatikan, lalu lintas di sana agak rumit. Apalagi mobil Taiwan memiliki kemudi di sebelah kiri. Bagi yang tidak terbiasa, bisa jadi akan sering ditilang oleh polisi lalu lintas, yang memang banyak terlihat berjaga di jalan-jalan utama Taipei.
Jangan sampai Anda sama sekali tidak menjelajahi kota ini. Karena, hanya dengan menelusurinya saja, Anda akan mendapatkan pengalaman city tour yang menyenangkan. Mulai dari restoran-restoran yang banyak tersebar di Taipei, yang menghidangkan makanan tradisional mereka, seperti bambu, seafood, ayam, dan bebek. Oh iya, bagi Anda pemeluk agama Islam, Anda wajib untuk memberitahu pelayan restoran di sana, karena kebanyakan makanan di Taiwan mengandung babi.
Salah satu pusat jajanan tradisional yang harus dikunjungi saat di Taipei adalah Shihlin Night Market. Area parkir indoor yang sangat luas, “disulap” menjadi pusat jajanan tradisional. Mungkin hampir seluruh penduduk kota Taipei tumpah ruah di sana untuk menikmati makanan-makanan yang sangat lezat, seperti scramble eggs with scallops, white snow ice cream, dan stinky tofu.

Namanya juga night market, Anda baru bisa ke sana ketika malam menjelang sampai tengah malam. Selain makanan, di trotoar sepanjang jalan Shihlin, berjajar pedagang yang menawarkan beraneka ragam barang dagangan, mulai dari busana, aksesori fashion, sampai mainan anak-anak. Harganya pun sangat terjangkau.
Satu lagi yang wajib didatangi saat Anda di Taipei, adalah Taipei 101. Gedung pencakar langit yang merupakan gedung perkantoran dan mal terbesar di kota itu memiliki 101 lantai. Ini termasuk unik, karena Taipei adalah kota yang rawan gempa. Struktur bangunan dan arsitekturnya memang disesuaikan dengan hal tersebut.
Taiwan 101 dibuka untuk umum. Anda bisa naik ke lantai 88, di mana di sana disediakan earphone yang akan menjelaskan bagian Taipei yang terlihat dari atas sana. Anda juga bisa membeli oleh-oleh khas Taiwan di atas gedung pencakar langit ini. Sangat menyenangkan.



Alishan Mountain
            Inilah uniknya Taiwan, walaupun merupakan negara kepulauan, tapi Taiwan memiliki komplek pegunungan yang mengelilingi negara ini. Salah satu yang paling terkenal adalah Alishan Mountain, atau dikenal dengan nama Ali Mountain. Di sana terdapat tea plantation dan bamboo forest yang sangat luas. Udaranya yang sangat sejuk dan fresh dapat membuat Anda rileks.

            Di sana terdapat sacred tree atau pohon yang disucikan, yang kabarnya berumur lebih dari 3.000 tahun. Selain itu, pemandangan matahari terbit di pegunungan ini begitu memukau. “Pengorbanan” bangun saat subuh segera terobati dengan sunrise view yang indah sekali. Anda dapat datang ke puncak bukit Zhu, karena dari sanalah pemandangan matahari terbit terindah yang bisa Anda saksikan.
            Satu lagi obyek wisata andalan dari Ali Mountain, yaitu The Ali Mountain Forest Railway. Kereta api zaman dahulu yang masih dioperasikan sampai sekarang, melintasi pegunungan, menawarkan view tea plantation dan bamboo forest yang menawan. Dari 30 meter di atas permukaan laut, kereta akan menanjak ke ketinggian 2.450 meter di atas permukaan laut…menakjubkan, bukan?


Sun Moon Lake
            Ini dia tempat favorit saya di antara obyek-obyek wisata indah lainnya di Taiwan. Karena memang, di tempat inilah saya benar-benar jatuh hati akan keindahannya, cerita di balik keberadaannya, dan budaya masyarakat asli di sana. Sampai sekarang, saya masih sering kali terbayang akan view danau seluas 7, 73 kilometer persegi yang dikelilingi oleh pegunungan ini, memang benar sangat indah!
            Anda harus mengelilingi danau ini menggunakan yacht yang memang disediakan untuk para wisatawan Sun Moon Lake. Di tengah danau, terdapat pulau buatan yang kecil namun indah, sehingga setiap yacht pasti akan berlabuh di sana sesaat. Anda juga akan dibawa ke sebuah kuil yang berada di atas ketinggian, bernama Syuenguang Temple, yang dibangun tahun 1955. Anda harus menaiki ratusan anak tangga untuk sampai ke sana. Dipercaya, di kuil ini terdapat relik seorang pendeta Buddha terkenal dari zaman Dinasti Tang, Syuenguang.
            Selain Syuenguang Temple, di Sun Moon Lake terdapat sebuah kuil yang merupakan kuil terbesar di Taiwan, yaitu Wunwu Temple. Dikenal juga dengan nama Mountain Gate Temple, karena letaknya yang berada di atas gunung menghadap ke danau, yang disimbolkan sebagai gerbang menuju pegunungan tinggi. Anda bisa mencoba meramal peruntungan di kuil ini. Percaya atau tidak, itu tergantung Anda sendiri.

            

New Zealand - Summer in Winter Wonderland

Saat hampir di semua belahan dunia sedang menikmati hangatnya sinar matahari, saya berkesempatan mengunjungi South Island New Zealand yang sedang dilanda musim dingin yang mencapai puncaknya di bulan Juli 2011 lalu. 

Saatnya Persiapan!
            Sebelum berangkat, penelitian kecil-kecilan saya lakukan untuk mempermatang persiapan perjalanan ke New Zealand, 18-23 Juli 2011. Mulai dari nilai tukar rupiah, cuaca di sana, sampai tempat-tempat yang tertulis dalam itinerary yang sudah dikirimkan AirAsia sejak 2 minggu sebelum tanggal keberangkatan.
Dalam hal mata uang, 1 NZD (New Zealand Dollar) = Rp 7.500 saat itu. Buat Anda yang setelah membaca cerita saya tentang “negeri dongeng” ini dan tertarik untuk berlibur ke New Zealand, ada baiknya untuk menukarkan rupiah ke NZD di Indonesia. Karena bila menukar setelah sampai di sana, saya agak ragu dengan nilai tukar Rupiah di sana.
Atau, tukarkan ke Dolar Australia terlebih dahulu kalau memang Anda tidak menemukan money changer yang memiliki NZD. Karena, berdasarkan pengalaman pribadi, jarang sekali money changer yang memiliki NZD di Indonesia. Saya saja baru berhasil menukarkannya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
 Untuk cuaca, kebetulan di New Zealand, bulan Juli adalah puncak dari musim dingin yang sudah mulai sejak sebulan sebelumnya. Saya diingatkan  untuk membawa pakaian yang banyak serta kelengkapan musim dingin yang diperlukan seperti jaket, sarung tangan, topi, dan kaus kaki. Now, i’m ready to explore Southern Alps, New Zeland!

Welcome to Southern Alps, New Zealand!
            AirAsia X, yang berbasis di Malaysia, telah membuka rute penerbangan menuju ke Christchurch, New Zealand. Dengan maskapai penerbangan itulah saya berangkat menuju ke New Zealand, dengan transit di Kuala Lumpur terlebih dahulu. Waktu penerbangan yang ditempuh mencapai kurang-lebih 12 jam, dari Jakarta menuju Christchurch (tidak termasuk saat transit di Bandara LCC Kuala Lumpur, Malaysia).
            Terdapat perbedaan waktu sekitar 5 jam lebih maju di Christchurch. Bersama dengan rombongan jurnalis dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan India, kami tiba di Bandara International Christchurch, New Zealand. Cuaca dingin dan berangin langsung menyambut kami ketika keluar menuju bis dari Kea Tours. Kami pun langsung menuju Terrace Down High Country Resort yang berada di kaki gunung Mt. Hutt.

Mt. Hutt dan Rakaia River

            Mungkin karena baru hari pertama menginjakkan kaki di New Zealand dan langsung disambut cuaca dingin yang mencapai 5 derajat Celcius, saya langsung merasa rindu pada udara panas Jakarta. Dinginnya terasa sangat menggigit. Apalagi kami diajak untuk berkeliling Terrace Down dengan menggunakan mobil golf yang terbuka. Brrrr...!
Namun, pemandangan indah Mt. Hutt dari Terrace Down High Country Resort membuat saya melupakan rasa dingin tersebut. Pegunungan bersalju dengan seburat warna merah muda sebagai latar belakangnya, sungguh seperti lukisan yang mewujud nyata di depan mata. Belum lagi Rakaia River, sungai di kaki Mt. Hutt dengan air biru jernih yang berasal dari salju yang mencair, memantulkan semburat warna pelangi yang luar biasa indah.
Pemandangan menakjubkan itu pulalah yang terlihat jelas dari jendela kamar saya di Terrace Down. Dengan konsep vila keluarga berkamar dua (saya sekamar dengan jurnalis dari Thailand) dengan konsep bangunan dan interior modern minimalis serta berkonsep pedesaan, Terrace Down menjadi pilihan tepat bagi para keluarga yang ingin berlibur di Mt. Hutt. Makan malam di Avoca Restaurant, Terrace Down High Country Resort semakin menyempurnakan hari pertama saya di sana.


Keesokan harinya, yang merupakan hari kedua saya di Southern Alps, saya bersiap untuk melakukan petualangan ala SouthAlps di Rakaia River. Kami pun dibawa menuju tepi Rakaia River untuk melakukan Jet Boating. Ya, jet boating! Menyusuri Rakaia River dengan perahu mesin berkecepatan tinggi, melewati tebing dan dasar sungai yang penuh bebatuan.
Saya sempat ragu untuk ikut kegiatan ini. Namun, begitu rombongan pertama selesai, mereka turun sambil menggigil dan berteriak “Seru! Kamu harus coba!” membuat saya memutuskan untuk ikut, dan saya tidak menyesal. Menikmati adrenalin yang mengalir cepat karena ngebut di sungai yang dangkal, menikmati dinginnya angin yang menerpa wajah, serta menikmati cipratan-cipratan air yang membekukan! It’s fun!

Mt. John dan Lake Tekapo
            Badan saya sudah mulai menyesuaikan cuaca dingin South Island, New Zealand, di hari kedua. Dengan pakaian berlapis-lapis, saya siap melanjutkan aktivitas menjelajahi Southern Alps yang memesona. Sepanjang perjalanan menuju Lake Tekapo, salah satu danau terindah di South Island, pemandangan pegunungan bersalju Alpine, hamparan padang rumput lengkap dengan gerombolan domba-domba yang sedang merumput, menjadi teman seperjalanan saya.
            Danau yang berada di dataran tinggi Mackenzie District disebut sebagai Lake Tekapo, memiliki warna turquois yang menakjubkan. Ini dikarenakan air yang berada di danau tersebut berasal dari glacier, serta dikelilingi oleh pegunungan bersalju yang memantulkan cahaya matahari ke air danau Lake Tekapo. Saya yang tidak memiliki keahlian fotografi dapat menciptakan hasil foto yang tidak kalah dengan fotografer profesional karena obyek foto yang begitu indahnya.


            Satu lagi obyek yang semakin menambah keindahan Lake Tekapo dan menjadi satu kesatuan dengannya adalah Church of the Good Sheperd. Sebuah bangunan gereja sederhana yang terbuat dari batu, yang terletak tepat di tepi Lake Tekapo, dibangun pada tahun 1935. Dari jendela altarnya, kita dapat melihat pemandangan indah SouthAlps yang terbingkai sempurna. Gereja ini sering kali digunakan untuk upacara pernikahan karena keindahannya.


            Kali ini saya bermalam di resor terbaik di Mackenzie District, Peppers Blue Waters Resort. Hampir sama seperti di Terrace Down, luxury villa bergaya modern dan menawarkan view Mt. John di kejauhan. Konsep resor modern dengan tipe duplex one bed room, menjadi “rumah” saya untuk satu malam.
Lucunya, saya bertemu dengan Putu Anggriasa, Housekeeping Manager Peppers Blue Waters Resort, yang berasal dari Bali dan telah bekerja di sana selama 4 tahun. Pak Putu sangat senang bertemu dengan kami, jurnalis dari Indonesia, karena begitu jarangnya orang Indonesia yang berkunjung ke sana. Dengan keramahannya, menginap di Peppers Blue Waters semakin terasa menyenangkan.
Tepat pukul 00.00, di saat udara dingin sudah menembus minus derajat Celcius, saya dan rombongan bergerak menuju Mt. John Obstervatory for an Earth and Sky untuk melakukan Stargazing Tour. Tanpa diterangi cahaya sedikitpun, saya menuju puncak Mt. John untuk melihat bintang di langit malam.
Sayangnya, cuaca saat itu sedang mendung sehingga hanya sedikit bintang yang bersinar. Ditambah, kami harus fokus berjalan di tengah kegelapan malam dan tanah licin bersalju, belum lagi rasa kantuk yang mulai menyerang, petualangan melihat bintang di puncak gunung Mt. John malam itu terasa begitu menantang.

Aoraki Mt. Cook, Salju, dan Flats
            Sebelum berangkat menuju gunung berikutnya, kami diajak menikmati beragam permainan seru di Alpine Spring & Spa, yang dekat dari Peppers Blue Waters Resort. Mulai dari ski, ice skating, ice chubbing, sampai berendam di kolam air panas. Sayangnya, saat itu saya sedang kurang sehat, sehingga hanya berperan sebagai fotografer, memotret teman-teman lain sambil ditemani secangkir cokelat panas.
            Dari Alpine Spring & Spa, kami bergerak menuju Mt. Cook, gunung tertinggi di Pegunungan Alpine. Yang tadinya sepanjang perjalanan adalah hamparan rumput hijau, mendekati tujuan, sisi jalan berubah menjadi hamparan salju yang putih menyilaukan. Saya sangat bersemangat kali ini, karena jujur saja, ini adalah pengalaman pertama saya berada di tengah-tengah hamparan salju yang luas.
            Kami langsung menuju ke The Hermitage Hotel, Aoraki Mt. Cook. Sebelumnya, mampir dulu di The Old Mountaineers’ Cafe, Restaurant, and Bar yang terletak di area hotel untuk menikmati hidangan makan siang ala bule, seperti steak, fish and cips, juga burger. Setelah makan, saya pun menyempatkan diri untuk bermain salju bersama teman-teman yang lain, karena restoran tersebut dan The Hermitage Hotel benar-benar berada di tengah salju. Saatnya untuk norak dan bersenang-senang!


            Hotel ini merupakan tempat yang tepat bagi mereka yang ingin merasakan pengalaman total berlibur di Mt. Cook. Mulai dari kamar hotel premium, unit motel, sampai tempat menginap bagi para backpakers, ada di The Hermitage Hotel. Dilengkapi juga dengan toko penjualan suvenir, Anda bisa berbelanja oleh-oleh khas South Island dan Mt. Cook di sini.
Jangan lupa untuk mengunjungi Sir Edmund Hillary Alpine Center, museum yang diperuntukan bagi Sir Edmund Hillary, yang telah berhasil menaklukan Mt. Cook dengan mendakinya di saat muda. Itulah yang kami lakukan, menonton film 3 dimensi yang menceritakan tentang asal muasal terbentuknya Mt. Cook dari legenda masyarakat asli, sampai berbelanja suvenir di The Hermitage Hotel dan juga menikmati makan malam yang nikmat di sana.
Keesokan harinya yang merupakan hari terakhir kami di New Zealand, adalah hari untuk pengalaman paling seru yang akan dilakukan. Dari hotel, saya dan rombongan menuju Mt. Cook Airport, sebuah bandara kecil untuk pesawat ski. Ya, kami akan terbang menggunakan pesawat ski dan helicopter, menjelajahi Mt. Cook dari udara dan mendarat di atas glacier.
Saya kebagian terbang menggunakan ski planes. Ini merupakan pengalaman yang tak akan saya lupakan. Sepatu kets yang biasa saya gunakan rusak, sehingga saya terpaksa menggunakan sepatu flat tipis dengan hanya 1 lapis kaus kaki. Begitu mendarat di glacier di atas Mt. Cook, saya mencoba untuk turun dan melangkah di hamparan salju, kakipun terpendam sampai batas mata kaki.
Rasanya sungguh luar biasa, beku dan kesemutan. Jadi, saya satu-satunya orang yang duduk diam di pesawat ketika yang lain asyik bermain salju di tengah suhu -10 derajat Celcius. Nasib, oh nasib! Teman-teman jurnalis, pilot, serta rekan dari Tourism New Zealand menyebut saya dengan “the hero that only wearing flats in the middle of snow”...hahaha!



Christchurch dan Kiwi
            Saatnya kami kembali ke Christchurch. Oh iya, sekadar informasi, petugas airport Mt. Cook berhasil memperbaiki sepatu kets saya hanya dengan permen karet! Sehingga saya dapat kembali beraktivitas tanpa takut kaki menjadi beku. Dari Mt. Cook, kami menuju Chirstchurch untuk mengejar penerbangan terakhir menuju Kuala Lumpur di hari yang sama.
            Sebagai negeri burung Kiwi, rasanya belum ke New Zealand bila tidak bertemu dengan ikon negara tersebut. Walaupun hanya sebentar, saya diajak ke Willowbank Wildlife Reserve and Ko Tane, tempat penangkaran dan budi daya burung Kiwi. Setelah itu, Mathew, pemandu sekaligus supir kami dari Kea Tours mengajak kami berkeliling Christchurch.
Sungguh miris dan menyedihkan melihat kota yang dipenuhi bangunan antik bersejarah rusak karena gempa berkekuatan besar dan banyak memakan korban jiwa. Salah satunya adalah gereja katedral yang berusia ratusan tahun yang terpaksa harus dirobohkan karena sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Mereka juga mengakui, gempa tersebut bepengaruh negatif pada dunia pariwisata. Orang-orang takut untuk datang ke Christchurch. 
Saatnya kembali ke rumah masing-masing. Pengalaman menjelajahi “negeri dongeng” South Island, New Zealand, bagaikan mimpi bagi saya. Keindahannya tidak tertandingi. Mungkin itulah sebabnya South Island dijadikan lokasi syuting film trilogi “Lord of The Rings” karena memang benar-benar mencerminkan keindahan alam middle earth yang sempurna.

"Anjing Menggonggong Khafilah Berlalu" -- Ikut Sibuk Bareng Gubernur Sumsel

Hampir sama dengan kisah lahirnya blog ini, yang muncul mendadak dan dalam waktu beberapa jam sudah ada, keterlibatan saya di SEA Games XXVI juga seperti itu. Sabtu ditelepon, Senin meeting, Selasa berangkat ke Palembang. Tidak tahu harus ngapain, intinya membantu penyelenggaraan SEA Games di Palembang. Berangkaaat!

Singkat kata, sudah hari ke-8 saya di Palembang dan menjadi saksi mata sibuknya para pihak penyelenggara, mulai dari Pemprov Sumsel sampai pihak panitia. Dan, pengalaman ini membukakan mata saya bahwa Indonesia adalah negara yang hebat! Ya, tanpa maksud apa-apa dan murni penilaian pribadi, saya mengakui dan bangga akan kehebatan negara tercinta ini. Salut buat Sumatera Selatan, yang harus membangun sarana dan fasilitas untuk event ini dalam waktu 11 bulan saja. Sekarang di Palembang, Jakabaring Sports City, kompleks olahraga terbesar di Indonesia, yang dibangun di atas lahan rawa seluas 325 hektar, sudah kokoh berdiri. Siapa sangka, 11 bulan yang lalu tempat ini adalah rawa-rawa? Menakjubkan!

Saya sering merasa sedih membaca pemberitaan-pemberitaan negatif mengenai masalah-masalah kecil yang terjadi saat penyelenggaraan, mengingat betapa kerasnya mereka berusaha untuk memberikan yang terbaik dan membuat bangga negara ini dengan menghadirkan sarana dan fasilitas olahraga bertaraf internasional demi dilangsungkannya SEA Games XXVI. Bukankah seharusnya kita, sebagai orang Indonesia, secara kompak dan bersama-sama mengharumkan nama bangsa di mata dunia internasional? Bukan maksud untuk ditutupi, tapi kan bisa bila ditemukan masalah atau kendala di lapangan, disampaikan kepada panitia penyelenggara agar dapat segera diatasi, bukannya diberitakan secara luas? Tapi, ya sudahlah, negara menjamin kebebasan warga negaranya untuk berpendapat. 

Untuk para atlet, selamat berjuang dan terima kasih karena sampai hari ke-6 SEA Games ini, Indonesia masih menjadi peraih medali terbanyak! Dan buat semua pihak yang telah bekerja keras untuk event ini, tetap semangat, jangan menyerah dan putus asa, tegakkan kepala! Suka-suka mereka mau bicara apa, jadi suka-suka Ratih mau nulis apa...hehehe.

Yakin, Indonesia Bisa!


Berfoto bersama Bapak Alex Noerdin, Gubernur Sumsel di Dining Hall, Wisma Atlet, JSC.

It's Me, Anastasia Ratih P Tyas!

Mencintai dunia tulis-menulis sejak kecil, bahkan sampai bikin novel sendiri yang beredar di kalangan teman-teman sekolah. Ditulis di buku tulis biasa, sampe ada 5 buku tulis yang diselotip jadi satu, dibaca bergilir, sampailecek sana-sini. Buku tersebut masih disimpan sampai sekarang...(walaupun harus usaha mencarinya di gudang).

Mengawali kariernya dengan menjadi reporter di Majalah Investor 7 tahun lalu, otomatis dunia keuangan dan investasi harus dikuasai selama dua tahun bekerja di sana.

Mulai dari situ, semakin "terikat" dengan komputer dan pekerjaan di dunia media cetak. Mulai dari majalah investasi, lifestyle, motivasi, travel, fashion, kesehatan, kembali lagi ke travel. Karena lumayan banyak "mengamen" sana-sini, dengan mengetik "anastasia ratih p tyas" di google search, keluarlah beberapa tulisan yang pernah dibuat.

Lelah menulis untuk orang lain, mencoba mandiri dengan mengerjakan proyek-proyek majalah internal beberapa perusahaan. Mulai dari rumah sakit, hospitality industry, perbankan, sampai pemerintahan.

Gara-gara bertemu rombongan blogger di salah satu event bertaraf internasional yang digelar di Indonesia bulan November 2011, mulai tertarik membuat blog sendiri. Pulang dari pertemua itu, buka laptop, buka google, search sana-sini, coba-coba, jadilah "Suka-suka Ratih". Keputusan yang sangat mendadak, memutuskan membuat blog, dan jadi dalam sehari (memang terkenal sebagai orang yang nekat/sembrono/bodo amat/suka-suka).

Maaf kalau masih banyak salah sana-sini, karena memang masih belajar nge-blog. Jadi jangan heran kalau bakalan nemu tulisan tentang keuangan, sex (yeaaay!), kesehatan, relationship, traveling (termasuk review hotel, restoran, dll) karena mau masukin tulisan-tulisan yang ada di bank naskah...namanya juga "Suka-suka Ratih"...

Really love this quote:
"Easy reading is damn hard writing" -- Nathaniel Hawthorne

ENJOY!